Pernah Merasakan Sakit karena Orang yang Dicintai?
Baca Ajaibnya Kisah Abu Bakar ini!
Mari
sejenak mendampingi seorang ibu yang melahirkan. Makhluk Allah yang
mulia ini nyawanya berada di ujung tanduk. Serangan rasa nyeri luar
biasa menyergap ketika rahim mulai berkontraksi.
Makin lama makin sering dan kian menyakitkan. Otot-otot serasa
dikejangkan dan tulang-tulang seperti dibetoti. Puncaknya, ketika sang
bayi sudah saatnya menghirup udara dunia, maka yang dirasakan sang ibu
adalah perobekan luas, dan luka jerih yang berdarah-darah. Rasa sakit
itu, sungguh tak terkatakan.
Tetapi lihatlah itu, ketika luka robek masih menyemburkan darah, dan
tenaga habis lunglai disadap persalinan, sang ibu tersenyum begitu
indahnya. Seakan semua sakit itu sirna ketika sang bayi yang menangis
demikian keras diletakkan di atas dadanya, dalam pelukannya.
Terbayangkah jika rasa sakit dahsyat yang kemudian menguap dalam sekejap macam itu dialami juga oleh seorang pria?
Setelah mendaki, lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak ruang
cekung di antara batu. Rikat matanya memeriksa tiap pojok. Dia temukan
setidaknya ada empat lubang, sarang makhluk berbisa di gua itu.
“Tunggulah sejenak, ya Rasulullah,” ujarnya. Dipinggirkannya semua
kerikil dan batu. Disapunya lantai dengan serban hingga pasirnya rata
dan lembut.
Lalu dia duduk. Ditepatkannya selonjoran kaki dan tapak-tapak
tangannya menutup lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang
berbisa. Rasulullah pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat di
pangkuan lelaki itu.
Lelaki itu, Abu Bakr Ash Shiddiq yang kurus badannya, pucat kulitnya, dan lembut hatinya, mendampingi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam hijrahnya. Kali ini mereka berada di Gua Tsur untuk menghindarkan
diri dari kejaran Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad.
Belum beberapa lama mereka di situ, Abu Bakr mulai merasa
sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya. Rasa ngilu, pedih, dan
nyeri yang tak tertahankan menjalar, seakan hendak merusakkan syaraf dan
melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit bibir.
Ditahannya rasa sakit itu demi sang Nabi tak terganggu dari
istirahatnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pulas sekali.
Beberapa lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian mereka dan
memeriksa pintu gua. Abu Bakr mulai gelisah dan disergap cemas. Tepat
pada saat itu, sebulir air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh
menitik berketipak di pipi sang Nabi. Beliau bangun.
“Jangan sedih, hai Abu Bakr,” ujar beliau menatap sahabatnya dengan teduh, “Allah bersama kita.”
“Orang-orang itu, ya Rasulullah,” ucap Abu Bakr seakan lupa pada
sakitnya, “Andai mereka melihat ke arah kaki mereka sendiri, pastilah
mereka akan mengetahui keberadaan kita.”
“Bagaimana pendapatmu, hai Abu Bakr,” lanjut Rasulullah sambil tersenyum, “jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kalimat Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan keteduhan
wajahnya, tiba-tiba membuat Abu Bakar serasa diguyur embun sejuk
ketenteraman. Segala rasa sakit akibat sengatan binatang-binatang jahat
itu tak lagi terasa. Dunia serasa dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar,
hangat dan penuh cinta. Sebab mereka berdua telah menyatu, dengan Allah
sebagai saksinya, sebagai yang ketiganya.
Inilah cinta penawar luka. Adakah kita punya?
Ust Salim A. Fillah
0 komentar:
Posting Komentar