Serba-Serbi Bulan Sya’ban (01)
Segala puji bagi Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang
mengikuti beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, saat ini kita telah
menginjak bulan Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui
amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin
melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada
tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).
Keutamaan Bulan Sya’ban
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah,
aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya
selain di bulan Sya’ban.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan
dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh
karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya
melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang
dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)
Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ
لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ
رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai
kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami
katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara
sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah
melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan
Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا
أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada
satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan
Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa
sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan
berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)? Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu”
(seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya,
sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau
mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada
kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh
bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban? An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan
agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ” (Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah
ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib).
Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena
dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa
Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa
Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa
menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di balik puasa Sya’ban adalah:
- Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkala manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
- Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ،
وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ،
وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan
untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya
dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab)
akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan
memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya)
do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)
Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an (?)
Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu
Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di
antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam
diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah
tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Qs. Ad Dukhan: 3-4)
Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam
Lailatul Qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga
Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat
bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Maysir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam
Nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah
menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu
masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an.” (Qs. Al Baqarah: 185)
Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (Qs. Al Qadr: 1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah
mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada
surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang
diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi
bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil
tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang
menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai
hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut
adalah malam Nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al
Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu
pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh
sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an
yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik
dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)
Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a (?)
Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan
atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid.
Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita
Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di
masjid pada malam Nishfu Sya’ban
–dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan
malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin
setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca:
bid’ah).
Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan
shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan
dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama
tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah
‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah,
dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang
tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut:
Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan
keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan,
“Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).
Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah
(komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu
Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan
sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada
malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’,
20). Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah
bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau
pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang
menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang
bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)
Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam Nishfu
Sya’ban dan menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan
malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita
Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana
mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang
menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan
tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan
tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)
Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak
terlarang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat sendirian
sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil
tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami
mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang
harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah
tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)
Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ
اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ
الأَيَّامِ
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk
shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk
berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)
Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu
malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena
malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at
adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits
dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam
lainnya dengan shalat tertentu, hal ini menunjukkan bahwa malam-malam
lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di
dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).
Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam
Nishfu Sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’
Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya,
tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk
kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri
merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat
radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita
umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah,
para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling
bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari
bulan Rajab dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu,
menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada
tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’,
30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang
masih ragu dengan berbagai alasan ini. [Silakan lihat penilaian
kelemahan beberapa hadits mengenai malam Nishfu Sya’ban di akhir
pembahasan ini]
Adapun mengenai Shalat Alfiyah, apakah shalat ini adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam Nishfu Sya’ban?
Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada
malam Nishfu Sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Babin Abul
Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki
bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam Nishfu Sya’ban dia
melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di
belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang
bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya
bertambah banyak. Ketika datang tahun berikutnya, semakin banyak yang
shalat bersamanya pada malam Nishfu Sya’ban. Kemudian amalan yang dia
lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin,
sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)
Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti
1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut
dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah
100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10
kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh
karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.
Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala
mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan
Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan
keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut
adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul
(tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh
karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)
[bersambung ke Serba-Serbi Bulan Sya’ban (2) ]
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar